Rabu, 10 Juli 2013

Jika Kau Masuk Islam Itulah Mahar Bagiku

Didalam sejarah perjuangan tegaknya Kalimatillah diatas bumi ini tidak bisa dipungkiri bahwa peranan wanita adalah tidak kecil. Mereka adalah ibarat sumbu yang menawarkan bara perjuangan kepada suami dan anak anak mereka. Banyak orang orang besar lahir dari rahim seorang wanita yang besar pula keimanan dan cintanya kepada Allah. Ada ibunda kita Khadijah r.a. Fatimah Az Zahra r.a yang melahirkan Imam Hasan r.a dan Imam Husein r.a. juga seorang pembantu wanita dari Ummul Mukminin Ummu Salamah yang kemudian melahirkan Ulama Besar dari Irak yaitu Imam Hasan Al Bashri rahimahullah.
Diantara para sahabiyah r.a terdapat nama Ummu Sulaim r.a yang memiliki kisah menawan dalam deretan kisah penuh teladan generasi umat manusia terbaik sepanjang masa. Dia seorang wanita yang sholehah, wara’, dan tidak kemilau oleh perhiasan dunia. Dia adalah ibunda sahabat Anas bin Malik r.a, seorang sahabat Nabi SAW yang termasuk golongan Ulama dan terkenal dalam pemahamannya tentang Islam.
Ummu Sulaim r.a adalah seorang Anshor yang awal awal masuk islam. Keistiqomahannya dan ketabahannya dalam menjalani kehidupan telah menjadi buah bibir di masyarakat Yatsrib. Ketidaksetujuan suaminya yang masih kafir tidak menggoyahkan Iman yang telah tertancap dalam di lubuk hatinya. Suaminyapun pergi meningalkan Ummu Sulaim r.a
Selang berapa lama seorang laki laki bernama Abu Thalhah yang waktu itu masih kafir memberanikan diri melamarnya dengan mahar yang tinggi. Tapi Ummu Sulaim tidak melirik sedikitpun terhadap apa yang ditawarkan di depan kedua matanya. Baginya Islam adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan apapun. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Ummu Sulaim r.a berkata, “Demi Allah, orang seperti anda tidak layak untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain dari itu.” Akhirnya menikahlah Ummu Sulaim r.a dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, yaitu Islam.
Ummu Sulaim r.a telah memberi kita sebuah pelajaran bahwa gemerlap dunia dengan segala kemewahannya adalah tidak lebh utama dari nilai Iman seorang hamba. Pernikahan adalah salah satu jalan bagi tersebarnya hidayah bagi mereka yang rindu akan petunjuk Allah. Kita juga mendapat pelajaran bahwa mahar sebagai pemberian yang diberikan kepada istri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan tidak selalu identik dengan uang, emas, atau segala sesuatu yang bersifat keduniaan.
Namun, mahar bisa berupa apapun yang bernilai dan diridhai istri selama bukan perkara yang dibenci oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Sebuah hadits diriwayatkan dari Anas r.a menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku belum pernah mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.” (HR An Nasa’i)
Semoga kita dapat meneladani sifat sifat mulia yang ada pada pada diri sahabat sahabat Nabi SAW. Mereka adalah contoh nyata manusia manusia paling agung dalam sejarah. Mereka bukan agung karena assesory yang mahal, bukan pula oleh berlimpahnya dinar dan dirham tapi oleh besarnya rasa cinta dan tingginya pengorbanan mereka untuk tegaknya Islam di atas bumi ini. Wallahu’alam. (Pz/kisah islami)

Kisah Mahar Paling Mulia

Penyusun: Ummu Ishaq
Sejarah telah berbicara tentang berbagai kisah yang bisa kita jadikan pelajaran dalam menapaki kehidupan. Sejarah pun mencatat perjalanan hidup para wanita muslimah yang teguh dan setia di atas keislamannya. Mereka adalah wanita yang kisahnya terukir di hati orang-orang beriman yang keterikatan hati mereka kepada Islam lebih kuat daripada keterikatan hatinya terhadap kenikmatan dunia. Salah satu diantara mereka adalah Rumaisha’ Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Najar Al-Anshariyah Al-Khazrajiyah. Beliau dikenal dengan nama Ummu Sulaim.
Siapakah Ummu Sulaim ?
Ummu Sulaim adalah ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal keilmuannya dalam masalah agama. Selain itu, Ummu Sulaim adalah salah seorang wanita muslimah yang dikabarkan masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau termasuk golongan pertama yang masuk Islam dari kalangan Anshar yang telah teruji keimanannya dan konsistensinya di dalam Islam. Kemarahan suaminya yang masih kafir tidak menjadikannya gentar dalam mempertahankan aqidahnya. Keteguhannya di atas kebenaran menghasilkan kepergian suaminya dari sisinya. Namun, kesendiriannya mempertahankan keimanan bersama seorang putranya justru berbuah kesabaran sehingga keduanya menjadi bahan pembicaraan orang yang takjub dan bangga dengan ketabahannya.
Dan, apakah kalian tahu wahai saudariku???
Kesabaran dan ketabahan Ummu Sulaim telah menyemikan perasaan cinta di hati Abu Thalhah yang saat itu masih kafir. Abu Thalhah memberanikan diri untuk melamar beliau dengan tawaran mahar yang tinggi. Namun, Ummu Sulaim menyatakan ketidaktertarikannya terhadap gemerlapnya pesona dunia yang ditawarkan kehadapannya. Di dalam sebuah riwayat yang sanadnya shahih dan memiliki banyak jalan, terdapat pernyataan beliau bahwa ketika itu beliau berkata, “Demi Allah, orang seperti anda tidak layak untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain dari itu.” (HR. An-Nasa’i VI/114, Al Ishabah VIII/243 dan Al-Hilyah II/59 dan 60). Akhirnya menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, yaitu Islam.
Kisah ini menjadi pelajaran bahwa mahar sebagai pemberian yang diberikan kepada istri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan tidak selalu identik dengan uang, emas, atau segala sesuatu yang bersifat keduniaan. Namun, mahar bisa berupa apapun yang bernilai dan diridhai istri selama bukan perkara yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesuatu yang perlu kalian tahu wahai saudariku, berdasarkan hadits dari Anas yang diriwayatkan oleh Tsabit bahwa Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Aku belum pernah mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.” (Sunan Nasa’i VI/114).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang kita untuk bermahal-mahal dalam mahar, diantaranya dalam sabda beliau adalah: “Di antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya.” (HR. Ahmad) dan “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.” (HR. Abu Dawud)
Demikianlah saudariku muslimah…
Semoga kisah ini menjadi sesuatu yang berarti dalam kehidupan kita dan menjadi jalan untuk meluruskan pandangan kita yang mungkin keliru dalam memaknai mahar. Selain itu, semoga kisah ini menjadi salah satu motivator kita untuk lebih konsisten dengan keislaman kita. Wallahu Waliyyuttaufiq.
Pegertian Mahar / Mas Kawin- Mahar merupakan salah satu syarat sah sebuah akad nikah yang pada zaman modern saat ini mulai mengalami pergeseran nilai. Pemberian mahar pada saat ini hanya dianggap sebagai salah satu bagian dalam ritualitas akad nikah sehingga tujuan syari (al-maqosid syariah) dari kewajiban mahar tereduksi oleh nilai-nilai lain selain Islam.

Sehingga wajar jika pemberian mahar atau bentuk mahar yang diberikan atau diminta saat ini aneh-aneh bentuk dan nilainya. Ada mahar yang berupa sejumlah uang dg nilai sesuai dengan tanggal nikah, ada juga mahar berupa kumpulan uang yang dibentuk menyerupai benda tertentu. Bahkan ada mahar dalam bentuk skripsi, ijazah kelulusan, dan lain sebagainya.

Mahar yang paling sederhana dan paling umum di masyarakat kita adalah mahar seperangkat sholat dan al-qur’an yang telah menjadi tradisi turun temurun, entah darimana asalanya yang jelas mahar tanpa dua benda tersebut dirasa kurang “afdhol”.

Dan yang sering terjadi salah kaprah juga terjadi dikalangan para aktivis da’wah, ada sebuah kesan bahwa jika maharnya berupa hafalan satu surat atau beberapa ayat Al-Qur’an seakan-akan itu sesuatu yang hebat, sesuatu yang sangat berharga, dan seakan-akan menjadi bentuk mahar yang paling baik, padahal asumsi dan kesan tersebut sama saja menjadikan nilai dan makna mahar dari sisi Al-Maqosid syariah menjadi hilang.

Mari kita tengok peristiwa-peristiwa pernikahan Rasulullah dan para sahabat, utamanya bentuk maharnya seperti apa. Rasulullah pada saat menikahi Khadijah maharnya adalah puluhan unta, yaitu kurang lebih 40 unta (bisa dicek jumlah tepatnya dalam sirah) dan sejumlah emas, yang jika diuangkan dalam masa kini mahar Rasulullah saat menikahi khadijah kurang lebih 1/2 milyar.

Ada juga sahabiah hindun yang akan menikah dg abu sofyan meminta mahar dg keislaman abu sofyan. Bahkan ada seorang sahabat yang menikah hanya memberi mahar bacaan Al-Qur’an karena saat itu dia tidak memiliki apa-apa. Memang bentuk dan rupa mahar tidak ada ketentuan yang jelas dalam syariat Islam, cuman Rasulullah memberikan rambu-rambu bahwa mahar itu harus sesuatu yang mempunyai nilai bagi mempelai putri walau itu berupa cincin dari besi, dan tidak memberatkan bagi pihak laki-laki.

Dan pada saat ada sahabat yang ingin menikah tapi tidak mampu memberikan mahar maka Rasulullah menyuruh sahabat tadi menikah dg mahar hafalan Al-Qur’an yang dia miliki. Bahkan beberapa ulama fiqih saat ini menyatakan mahar yang diberikan itu harus sesuatu yang produktif bukan hanya bernilai saja.

Tujuan pemberian mahar dalam prespektif al-maqosid syariah adalah untuk menjaga kemulian wanita. Mungkin tujuan ini sekilas tidak nyambung dengan pemberian mahar, bahkan para orientalis menyatakan mahar itu melecehkan kaum wanita karena wanita diibaratkan dengan barang dagangan.

Para orientalis menganggap pemberian mahar ibarat proses barter dalam perdagangan. Itulah pikiran picik dari para orientalis. Memang manfaat mahar untuk menjaga kemulian wanita pada saat menikah tidak terasa, nuansa dan rasa yang ada hanyalah nuansa untuk membandingkan nilai mahar dengan nilai wanita.

Sehingga wajar kemudian masyarakat saat ini menjadikan mahar hanya sebatas ritualitas dalam akad nikah yaitu hanya sekedar menggugurkan suatu kewajiban agar dapat terlaksananya suatu hukum, karena mereka sudah “teracuni” oleh pemikiran para orientalis tersebut.

Mahar yang diterima oleh seorang istri akan menjadi harta pribadi milik sang istri, sehingga istri mempunyai hak penuh untuk mengelolanya tampa harus tunduk atau dibawah perintah suami. Suami tidak boleh menggunakan harta yang berasal dari mahar tersebut tampa se-ijin istri. Mulai dari pemahaman atas kedudukan mahar dalam masalah status harta maka akan menjadi jalan masuk kita untuk memahami bahwa mahar adalah untuk menjaga kemulian wanita.

Jika mahar yang menjadi harta milik wanita maka bisa dibayangkan jika maharnya adalah harta yang produktif seperti sapi, kerbau, tanah pertanian, mobil, uang, emas dll maka harta tersebut akan dapat digunakan oleh istri untuk melakukan investasi dan usaha yang akan menjamin kebutuhannya sehingga dia tidak perlu lagi bekerja di luar, dan tidak perlu lagi untuk “mengemis” uang nafkah ke suami.

Sehingga kemandiriannya sebagai wanita akan terwujud, dan kemualiannya akan terjaga karena akan banyak terhindar dari kasus KDRT yang sering terjadi akibat lemahnya kedudukan wanita dalam rumah tangga. Dan yang lebih terasa lagi manfaatnya adalah jika suaminya meninggal dan meninggalkan beberapa orang anak, maka selain harta warisan sang suami, harta dari mahar pun akan mampu menjaga kemualian seorang wanita pada saat dia berstatus janda.

Dengan harta mahar yang besar dan bernilai serta produktif maka seorang janda tidak akan kebingungan untuk memikirkan nafkah dan biaya hidup untuk diri dan anak-anaknya, sehingga dia tidak perlu “mengemis” ke orang lain. Coba bayangkan jika mahar kita hanya seperangkat alat sholat dan Al-Qur’an, atau hanya hafalan hadist dan ayat Al-Qur’an, atau sejumlah uang dan benda-benda yang tidak jelas nilainya, maka mahar itu tidak bisa menjadi harta bagi istri kita yang bisa menjaga kemulian dia sebagai wanita pada saat menjadi istri atau pun saat dia menjadi janda. Itulah makna dan maksud kenapa mahar itu menjadi salah satu syarat syahnya akad nikah.

Semakin besar nilai manfaat dan nominal dari mahar yang kita berikan kepada istri kita menunjukkan semakin tinggi rasa tanggung jawab kita sebagai suami untuk menjaga kemulian seorang wanita dan istri sehingga kita memang pantas untuk bisa menjadi lelaki yang qowam.

MAHAR

Mahar atau Mas kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat pernikahan. Istilah yang sama pula digunakan sebaliknya bila pemberi mahar adalah pihak keluarga atau mempelaerempuan. Secara antropologi, mahar seringkali dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok.
Di indonesia, istilah mahar tidak hanya digunakan secara terbatas pada pernikahan. Penganut paham mistisisme kadang-kadang menggunakan istilah yang sama dalam proses pemindahan hak kepemilikan atas benda-benda yang dipercaya memiliki kekuatan tertentu seperti keris, akik, dan benda-benda lainnya. Mahar juga kadang-kadang diartikan sebagai pengganti kata biaya atas kompensasi terhadap proses pengajaran ilmu ataupun kesaktian dari seorang guru kepada orang lain.

Sejarah

Meskipun tidak ada sumber resmi yang menyebutkan secara jelas, budaya mahar dipercaya sudah ada sejak zaman purbakala seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Penemuan tertua yang mengatur tentang tata cara pemberian mahar tercatat pada piagam Hammurabi yang menyebutkan:
  • Seorang laki-laki yang telah memberikan mahar kepada seorang mempelai wanita namun kemudian mempersunting wanita lain tidak berhak mendapat pengembalian atas mahar yang telah diberikannya, namun apabila ayah dari mempelai wanita menolak menikahkan maka laki-laki tersebut berhak atas pengembalian mahar yang telah diberikannya.
  • Jika seorang istri meninggal tanpa sempat melahirkan seorang anak laki-laki, ayah dari istri tersebut harus memberikan mahar sebagai gantirugi kepada pihak laki-laki, setelah dikurangi nilai dari mahar yang diberikan pihak laki-laki.

Mahar dalam ajaran agama

Pemberian mahar dalam pernikahan tidak hanya sebatas budaya yang berlaku dalam peradaban manusia, tata cara dan pemberian mahar bahkan diatur dalam kitab suci beberapa agama:

Islam

Mahar dalam agama islam dinilai dengan menggunakan nilai uang sebagai acuan, hal ini disebabkan karena mahar merupakan harta dan bukan semata-mata sebagai sebuah simbol. Wanita dapat meminta mahar dalam bentuk harta dengan nilai nominal tertentu seperti uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, atau benda berharga lainnya. Mahar juga dapat berupa mushaf Al-Qur'an serta seperangkat alat salat. Agama islam mengizinkan mahar diberikan oleh pihak laki-laki dalam bentuk apapun (cincin dari besi, sebutir kurma, ataupun jasa), namun demikian mempelai wanita sebagai pihak penerima memiliki hak penuh untuk menerima ataupun menolak mahar tersebut.

Kristen

Praktek pemberian mahar dalam agama kristen ditemukan dalam alkitab, pada perjanjian lama, Exodus 22:16-17 yang menyebutkan:
  • Jika seorang laki-laki mengambil mahkota (keperawanan) seorang wanita yang tidak dijanjikan untuk dinikahinya, kemudian tidur bersamanya. Maka ia harus membayar sejumlah mahar, dan wanita tersebut harus menjadi istrinya. Jika ayah dari perempuan menolak untuk menikahkan keduanya, maka laki-laki tersebut tetap harus membayarkan sejumlah mahar tersebut atas keperawanan yang telah ia ambil.