Pegertian Mahar / Mas Kawin- Mahar
merupakan salah satu syarat sah sebuah akad nikah yang pada zaman
modern saat ini mulai mengalami pergeseran nilai. Pemberian mahar pada
saat ini hanya dianggap sebagai salah satu bagian dalam ritualitas akad
nikah sehingga tujuan syari (al-maqosid syariah) dari kewajiban mahar
tereduksi oleh nilai-nilai lain selain Islam.
Sehingga
wajar jika pemberian mahar atau bentuk mahar yang diberikan atau
diminta saat ini aneh-aneh bentuk dan nilainya. Ada mahar yang berupa
sejumlah uang dg nilai sesuai dengan tanggal nikah, ada juga mahar
berupa kumpulan uang yang dibentuk menyerupai benda tertentu. Bahkan ada
mahar dalam bentuk skripsi, ijazah kelulusan, dan lain sebagainya.
Mahar
yang paling sederhana dan paling umum di masyarakat kita adalah mahar
seperangkat sholat dan al-qur’an yang telah menjadi tradisi turun
temurun, entah darimana asalanya yang jelas mahar tanpa dua benda
tersebut dirasa kurang “afdhol”.
Dan
yang sering terjadi salah kaprah juga terjadi dikalangan para aktivis
da’wah, ada sebuah kesan bahwa jika maharnya berupa hafalan satu surat
atau beberapa ayat Al-Qur’an seakan-akan itu sesuatu yang hebat, sesuatu
yang sangat berharga, dan seakan-akan menjadi bentuk mahar yang paling
baik, padahal asumsi dan kesan tersebut sama saja menjadikan nilai dan
makna mahar dari sisi Al-Maqosid syariah menjadi hilang.
Mari
kita tengok peristiwa-peristiwa pernikahan Rasulullah dan para sahabat,
utamanya bentuk maharnya seperti apa. Rasulullah pada saat menikahi
Khadijah maharnya adalah puluhan unta, yaitu kurang lebih 40 unta (bisa
dicek jumlah tepatnya dalam sirah) dan sejumlah emas, yang jika
diuangkan dalam masa kini mahar Rasulullah saat menikahi khadijah kurang
lebih 1/2 milyar.
Ada juga
sahabiah hindun yang akan menikah dg abu sofyan meminta mahar dg
keislaman abu sofyan. Bahkan ada seorang sahabat yang menikah hanya
memberi mahar bacaan Al-Qur’an karena saat itu dia tidak memiliki
apa-apa. Memang bentuk dan rupa mahar tidak ada ketentuan yang jelas
dalam syariat Islam, cuman Rasulullah memberikan rambu-rambu bahwa mahar
itu harus sesuatu yang mempunyai nilai bagi mempelai putri walau itu
berupa cincin dari besi, dan tidak memberatkan bagi pihak laki-laki.
Dan
pada saat ada sahabat yang ingin menikah tapi tidak mampu memberikan
mahar maka Rasulullah menyuruh sahabat tadi menikah dg mahar hafalan
Al-Qur’an yang dia miliki. Bahkan beberapa ulama fiqih saat ini
menyatakan mahar yang diberikan itu harus sesuatu yang produktif bukan
hanya bernilai saja.
Tujuan
pemberian mahar dalam prespektif al-maqosid syariah adalah untuk menjaga
kemulian wanita. Mungkin tujuan ini sekilas tidak nyambung dengan
pemberian mahar, bahkan para orientalis menyatakan mahar itu melecehkan
kaum wanita karena wanita diibaratkan dengan barang dagangan.
Para
orientalis menganggap pemberian mahar ibarat proses barter dalam
perdagangan. Itulah pikiran picik dari para orientalis. Memang manfaat
mahar untuk menjaga kemulian wanita pada saat menikah tidak terasa,
nuansa dan rasa yang ada hanyalah nuansa untuk membandingkan nilai mahar
dengan nilai wanita.
Sehingga
wajar kemudian masyarakat saat ini menjadikan mahar hanya sebatas
ritualitas dalam akad nikah yaitu hanya sekedar menggugurkan suatu
kewajiban agar dapat terlaksananya suatu hukum, karena mereka sudah
“teracuni” oleh pemikiran para orientalis tersebut.
Mahar
yang diterima oleh seorang istri akan menjadi harta pribadi milik sang
istri, sehingga istri mempunyai hak penuh untuk mengelolanya tampa harus
tunduk atau dibawah perintah suami. Suami tidak boleh menggunakan harta
yang berasal dari mahar tersebut tampa se-ijin istri. Mulai dari
pemahaman atas kedudukan mahar dalam masalah status harta maka akan
menjadi jalan masuk kita untuk memahami bahwa mahar adalah untuk menjaga
kemulian wanita.
Jika mahar yang
menjadi harta milik wanita maka bisa dibayangkan jika maharnya adalah
harta yang produktif seperti sapi, kerbau, tanah pertanian, mobil, uang,
emas dll maka harta tersebut akan dapat digunakan oleh istri untuk
melakukan investasi dan usaha yang akan menjamin kebutuhannya sehingga
dia tidak perlu lagi bekerja di luar, dan tidak perlu lagi untuk
“mengemis” uang nafkah ke suami.
Sehingga
kemandiriannya sebagai wanita akan terwujud, dan kemualiannya akan
terjaga karena akan banyak terhindar dari kasus KDRT yang sering terjadi
akibat lemahnya kedudukan wanita dalam rumah tangga. Dan yang lebih
terasa lagi manfaatnya adalah jika suaminya meninggal dan meninggalkan
beberapa orang anak, maka selain harta warisan sang suami, harta dari
mahar pun akan mampu menjaga kemualian seorang wanita pada saat dia
berstatus janda.
Dengan harta
mahar yang besar dan bernilai serta produktif maka seorang janda tidak
akan kebingungan untuk memikirkan nafkah dan biaya hidup untuk diri dan
anak-anaknya, sehingga dia tidak perlu “mengemis” ke orang
lain. Coba bayangkan jika mahar kita hanya seperangkat alat sholat dan
Al-Qur’an, atau hanya hafalan hadist dan ayat Al-Qur’an, atau sejumlah
uang dan benda-benda yang tidak jelas nilainya, maka mahar itu tidak
bisa menjadi harta bagi istri kita yang bisa menjaga kemulian dia
sebagai wanita pada saat menjadi istri atau pun saat dia menjadi janda.
Itulah makna dan maksud kenapa mahar itu menjadi salah satu syarat
syahnya akad nikah.
Semakin besar
nilai manfaat dan nominal dari mahar yang kita berikan kepada istri
kita menunjukkan semakin tinggi rasa tanggung jawab kita sebagai suami
untuk menjaga kemulian seorang wanita dan istri sehingga kita memang
pantas untuk bisa menjadi lelaki yang qowam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar