Kapan Wanita Boleh Gugat Cerai?
Istri Gugat Cerai Suami
Pertanyaan:
Assalaamu’alaikum.
Teman saya ingin melakukan
khulu’ (
minta cerai) dengan alasan:
1. Suaminya mengatakan bahwa dulu niat nikahnya hanya karena dendam
kepada keluarga istri, bahkan dicurigai si lelaki menggunakan sihir
pelet untuk menikahinya.
2. Diajak suaminya
nonton video porno.
3. Pernah ketika piknik, teman saya ini pake jilbab kemudian suaminya
nyuruh pake kaos dan celana pendek, tapi alhamdulillaah temen saya gak
nurut.
4. Suaminya menghina keluarga istri.
5. Ketika diajak sholat, sering bilang males.
6. Temen saya dulu dinikahi dibawah ancaman si lelaki.
Apakah
khulu’ dengan alasan di atas dibenarkan? Kalau suami tidak mengabulkan permintaan
khulu’ istri bagaimana?
Mohon dijelaskan rincian prosedurnya seperti apa? Baik berkaitan dengan agama dan lembaga pengadilan di Indonesia.
Terima kasih
Jawaban:
Wa’alaikumussalam.
Syariat Islam memberikan jalan keluar bagi pasangan suami istri
ketika mereka tidak lagi merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam
keluarganya. Baik dalam bentuk cerai yang itu berada di tangan suami
atau gugat cerai (
khulu’) sebagai jalan keluar bagi istri yang
tidak memungkinkan lagi untuk tinggal bersama suami. Dan semuanya harus
dilakukan dengan aturan yang telah ditetapkan syariat.
Karena itulah, sang suami tidak boleh sembarangan
menjatuhkan perceraian,
karena dengan demikian berarti dia telah melakukan tindak kedzaliman.
Lebih dari itu, para lelaki pun tidak dianjurkan untuk langsung beranjak
ke jenjang perceraian ketika terjadi masalah, kecuali setelah berusaha
mempertahankan keutuhan keluarganya melalu jalur islah (usaha damai)
dari perwakilan dari dua belah pihak atau usaha lainnya.
Allah tegaskan dalam firman-Nya,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ
فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا
كَبِيرًا ( ) وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا
مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا
يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (membangkang), Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha besar (34). Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. (QS. An-Nisa: 34 – 35)
Hukum Asal Wanita Gugat Cerai Adalah Haram
Terdapat beberapa hadis yang menjelaskan hal ini, diantaranya,
Dari Tsauban
radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga” (HR Abu Dawud no 2226, At-Turmudzi 1187 dan dihahihkan al-Albani).
Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita
yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang diizinkan oleh syariat.
Dalam
Aunul Ma’bud, Syarh sunan Abu Daud dijelaskan makna ‘tanpa kondisi mendesak’,
أي لغير شدة تلجئها إلى سؤال المفارقة
“Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…” (
Aunul Ma’bud, 6:220)
Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُنْتَزِعَاتُ وَالْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“
Para wanita yang berusaha melepaskan dirinya dari suaminya, yang
suka khulu’ (gugat cerai) dari suaminya, mereka itulah para wanita
munafiq.” (HR. Nasa’i 3461 dan dishahihkan al-Albani)
Al-Munawi menjelaskan hadis di atas,
أي اللاتي يبذلن العوض على فراق الزوج بلا عذر شرعي
“Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk berpisah dari suaminya tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.’
Beliau juga menjelaskan makna munafiq dalam hadis ini,
نفاقاً عملياً والمراد الزجر والتهويل فيكره للمرأة طلب الطلاق بلا عذر شرعي
‘Munafiq amali (munafiq kecil). Maksudnya adalah sebagai larangan
keras dan ancaman. Karena itu, sangat dibenci bagi wanita meminta cerai
tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.’ (
At-Taisiir bi Syarh al-Jaami’ as-Shogiir, 1:607).
Hal-Hal yang Membolehkan Gugat Cerai
Hadis-hadis di atas tidaklah memaksa wanita untuk tetap bertahan
dengan suaminya sekalipun dalam keadaan tertindas. Karena yang dilarang
oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melakukan
gugat cerai tanpa alasan yang dibenarkan. Artinya, jika itu dilakukan
karena alasan yang benar, syariat tidak melarangnya, bahkan dalam
kondisi tertentu, seorang wanita wajib berpisah dari suaminya.
Apa saja yang membolehkan para istri untuk melakukan gugat cerai?
Imam Ibnu Qudamah telah menyebutkan kaidah dalam hal ini. Beliau
mengatakan,
وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو
دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي حق الله في طاعته جاز
لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها منه
“Kesimpulan masalah ini, bahwa seorang wanita, jika membenci suaminya
karena akhlaknya atau karena fisiknya atau karena agamanya, atau karena
usianya yang sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan yang
semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam
mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ (gugat
cerai) kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk melepaskan
dirinya.” (
al-Mughni, 7:323).
Mengambil faidah dari keterangan Ustadz Firanda, M.A., berikut beberapa kasus yang membolehkan sang
istri melakukan gugat cerai,
1. Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi
sang suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri
menjadi seperti wanita yang tergantung.
2. Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.
3. Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu
sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau
sering meninggalkan sholat, suka mendengar musik, dll
4. Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti
tidak memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian
untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang
suami mampu.
5. Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan
baik, misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan
biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau
atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada istri
yang lain.
6. Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja
sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri
sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh
baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu’, karena ia
khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak
suami.
7. Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk,
dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri
tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti
cacat, atau buruknya suami.
(Silahkan lihat
Roudhotut Toolibiin 7:374, dan juga fatwa Syaikh Ibn Jibrin
rahimahullah di http://islamqa.info/ar/ref/1859)
Jika data yang Anda sampaikan benar, insya Allah wanita itu berhak
melakukan gugat cerai. Terutama karena sang suami tidak mau shalat. Dia
bisa melaporkan ke PA (Pengadilan Agama) untuk menyampaikan semua
aduhannya. Jika pihak PA menyetujui, maka sang istri bisa lepas dari
ikatan pernikahan dengan suaminya yang pertama.
Allahu a’lam
Ayah Tidak Pernah Shalat, Bolehkah Jadi Wali Nikah?
Jarang Sholat, Jadi Wali Nikah ?
Pertanyaan:
Ada seorang muslimah yang ayahnya hampir tidak pernah shalat.
Kalaupun shalat, hanya jumatan dan itu pun kadang-kadang. Apakah dia
boleh jadi wali?
Trim’s
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, nikah tanpa wali, nikahnya batal
Para ulama selain beberapa tokoh dalam madzhab hanafi, telah sepakat
bahwa nikah tanpa wali statusnya batal. Sangat banyak dalil yang
menunjukkan hal ini. Diantaranya,
Dari Abu Musa al-Asy’ari
radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“
Tidak sah nikah kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud 2085, Turmudzi 1101, Ibnu Majah 1881 dan dishahihkan al-Albani)
Dalam hadis lain dari Aisyah
radhiyallahu ‘anha, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“
Wanita manapun yang menikah tanpa restu dari walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal.” (HR. Ahmad 24417, Abu Daud 2083, Turmudzi 1102 dan dishahihkan al-Albani).
Kedua, diantara syarat bisa menjadi wali nikah, dia harus muslim. Karena orang kafir tidak boleh menjadi wali nikah bagi muslimah.
Al-Buhuti dalam
Kasyaful Qana’ menjelaskan beberapa persyaratan wali nikah, diantaranya,
الثّالِث اتفاق دين ، الولي والمولى عليها ، فلا يزوج كافر مسلمة ولا عكسه
Syarat ketiga, kesamaan agama, antara wali dan yang diwalikan. Karena
itu, tidak boleh orang kafir menikahkan wanita muslimah, atau
sebaliknya. (
Kasyaful Qana’, 5:53)
Ketiga, Bagaimana jika meninggalkan shalat?
Berikut keterangan Dr. Khalid al-Musyaiqih ketika beliau ditanya
tentang status seorang ayah yang tidak pernah shalat. Bolehkah jadi wali
nikah?
Jawaban beliau,
إذا كان هذا الأب لا يصلي مطلقاً ويمضي عليه أكثر من أسبوع
وهو لا يصلي فالذي يظهر أنه خارج من دائرة الإسلام لقوله صلى الله عليه
وسلم : “إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة ” رواه مسلم وعن بريده
بن الحصيب رضي الله عنه ، قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم ، يقول
: “العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة ، فمن تركها فقد كفر”. رواه أحمد وأبو
داود والترمذي والنسائي وابن ماجه.
Apabila si ayah tidak pernah shalat sama sekali, telah berlalu lebih
dari sepekan dan dia tidak shalat, pendapat yang kuat, orang ini telah
keluar dari islam. Berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “
Pembatas antara seseorang dengan kesyirikan atau kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim). Demikian pula hadis dari Buraidah bin Hashib
radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “
Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat. Siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Ibn Majah).
وحينئذ تسقط ولايته ولا يصح أن يتولى العقد على هذه المرأة
لأن من شروط من الولي أن يكون مسلما وقد قال الفقهاء رحمهم الله تعالى:
أنه يشترط في الولي الإسلام إذا زوَّج مسلمة ، وقالوا : ” لا ولاية لكافر
على مسلمة “.وقال ابن عباس رضي الله عنهما : ” لا نكاح إلا بولي مرشد ” ،
وأعظم الرشد وأعلاه دين الإسلام .
Pada keadaan demikian, gugur hak kewalian sang ayah, dan tidak sah
untuk menjadi wali akad nikah bagi wanita ini. Karena diantara syarat
wali nikah, dia harus seorang muslim. Para ulama mengatakan, bahwa
disyaratkan untuk menjadi wali, harus orang islam, apabila dia hendak
menikahkan seorang muslimah. Para ulama mengatakan,
‘Tidak ada hak perwalian untuk orang kafir, terhadap wanita muslimah.’ Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, mengatakan,
لا نكاح إلا بولي مرشد
“Tidak ada nikah, kecuali dengan wali yang layak.”
Dan kelayakan terbesar dan tertinggi adalah agama Islam.
Sumber:
http://www.almoshaiqeh.com/index.php?option=com_ftawa2&task=view&id=4171
Keempat, ketika seorang bapak telah gugur haknya untuk menjadi
wali, hak perwalian akan jatuh ke setiap laki-laki dari jalur bapak,
seperti kakek, anak (jika janda), saudara laki-laki, dst, sebagaimana
yang telah dibahas di artikel:
Urutan Wali Nikah
Allahu a’lam
Hukum Hubungan Intim Setelah Bercerai
Hubungan Intim Setelah Bercerai
Pertanyaan:
Ustadz, jika ada suami-istri, keduanya dari keluarga baik-baik.
Setelah menikah beberapa tahun, istrinya minta cerai, hingga diurus di
pengadilan, akhirnya suaminya menceraikannya. Kurang lebih 2 bulan,
mereka bertemu kembali, dan pergi bersama jauh dari keluarga.
Sampai akhirnya terjadi hubungan intim dan hamil.
Si istri sangat bingung dengan status anak ini. Apakh itu hubungan yang
sah atau zina? Hingga keluarganya memisahkannya, karena belum ada
kejelasan. Semua pada bingung. Mohon pencerahannya jika ada kejadian
seperti ini, apa yang harus dilakukan?
Trim’s
Dari: Ana
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Ibnul Qoyim dalam bukunya
Miftah Dar As-Sa’adah, 1:129 menyebutkan lebih dari 30 perbandingan keutamaan antara ilmu dan harta. Salah satunya, beliau menyatakan,
العلم يحرس صاحبه وصاحب المال يحرس ماله
Ilmu akan melindungi pemiliknya, sementara pemilik harta, dia sendiri yang melindungi hartanya.
Dan demikianlah realitanya, seorang yang berilmu, dalam setiap
gerakan hidupnya akan dipandu dengan aturan yang dia pahami. Dia bisa
bergerak sesuai dengan apa yang Allah ridhai. Dengan demikian, dia bisa
menjalankan segala aktivitasnya dengan tenang, tanpa diiringi kegalauan.
Berbeda dengan orang yang tidak berilmu, tidak memiliki banyak
pengetahuan tentang aturan Allah, hidupnya akan diliputi kebimbangan.
Cemas, jangan-jangan saya melanggar, jangan-jangan ibadah saya batal,
jangan-jangan tidak sah. Belum lagi ketika ada masalah, seperti ini apa
yang harus saya lakukan? Kemana saya harus mencari jawaban? dst. Kita
tidak bisa membayangkan, betapa resahnya dan bimbangnya keluarga di
atas. Mereka akan dibayangi kebingungan, antara zina dan bukan zina.
Karena itulah, Allah tegaskan bahwa orang yang berilmu akan mendapatkan ketenangan,
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan dzikrullah hati ini menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28)
Tentang makna dzikrullah ada 2 keterangan ahli tafsir,
a. Makna yang umum kita dengar, dzikrullah artinya mengingat Allah dengan memujinya dan mengucapkan lafal-lafal dzikir lainnya.
b. Dzikrullah: peringatan dari Allah, Alquran dan sunah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Artinya, semua aturan Allah. Karena orang yang memahami, akan bisa
bersikap dengan tenang, tidak ragu, karena dipandu aturan Allah.
(simak
Zadul Masir, 2:494).
Setidaknya, keterangan ini bisa memberi motivasi kita untuk menghiasi
seluruh hidup kita dengan ilmu agama. Berusaha mendekati dan memahami
aturan syariat. Setidaknya dalam rangka menghilangkan kebodohan dalam
diri kita. Karena semua manusia dilahirkan dari rahim ibunya, tidak tahu
apapun sama sekali.
Insya Allah, kita akan bisa merasakan betapa tenangnya hidup dengan
aturan syariat. Beribadah tenang, shalat tenang, bahkan ketika lupa di
tengah-tengah shalat pun Anda tenang, karena Anda paham teori sujud
sahwi. Beda dengan yang tidak tahu teorinya, ketika lupa dalam shalat,
dia akan kebingungan, apa yang harus dia lakukan. Kebanyakan, solusi
yang dilakukan adalah membatalkan shalatnya.
Selanjutnya, kita fokuskan pada pembahasan untuk kasus di atas.
Ada beberapa pengantar yang bisa dicatat terkait kasus di atas:
Pertama, talak, dilihat dari kemungkinan rujuk dan tidaknya, ada 2:
a. Talak raj’i: talak yang masih memungkinkan untuk rujuk, selama
istri masih menjalani masa iddah. Talak yang masih memungkinkan untuk
rujuk hanya untuk talak pertama dan kedua. Allah berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
“
Talak itu dua kali…” (QS. Al-Baqarah: 229)
Kata para ahli tafsir, talak itu dua kali, maksudnya adalah talak yang masih memungkinkan untuk rujuk. (
Tafsir Jalalain, hlm. 235).
b. Talak ba’in: talak yang tidak ada lagi kesempatan untuk rujuk. Talak ba’in ada 2:
· Ba’in sughra: ini terjadi ketika seorang suami mentalak istrinya,
pertama atau kedua, dan sampai masa iddah selesai, dia tidak merujuk
istrinya.
· Ba’in kubro: talak untuk yang ketiga kalinya.
Kedua, selama menjalani masa iddah untuk talak pertama dan
kedua, status mereka masih suami istri. Karena itu, suami boleh melihat
aurat istri dan sebaliknya, demikian pula, suami tetap wajib memberi
nafkah istrinya yang sedang menjalani masa iddah.
Allah berfirman,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“
Suaminya itu lebih berhak untuk rujuk dengan istrinya selama masa iddah itu, jika mereka menginginkan kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Syaikh Mustofa al-Adawi mengatakan, “Allah
Ta’ala menyebut suami yang menceraikan istrinya yang sedang menjalani masa iddah dengan “suaminya” (suami bagi istrinya).” (
Jami’ Ahkam an-Nisa, 511)
Ketiga, selama menjalani masa iddah talak pertama dan kedua, bolehkah mereka melakukan hubungan badan?
Sebagian ulama menegaskan, jika seorang suami menceraikan istrinya,
talak satu atau talak dua, kemudian dia melakukan hubungan badan, maka
itu tidak dianggap zina, artinya statusnya hubungan yang halal, dan
hubungan badan yang dia lakukan sekaligus mewakili rujuknya.
Sayyid Sabiq dalam karyanya,
Fiqh Sunnah mengatakan:
وتصح المراجعة بالقول. مثل أن يقول: راجعتك، وبالفعل، مثل الجماع، ودواعيه، مثل القبلة، والمباشرة بشهوة.
“Rujuk bisa dilakukan dengan ucapan, seperti, seorang suami
mengatakan kepada istrinya: ‘Saya rujuk kepadamu.’ Bisa juga dengan
perbuatan, misalnya dengan hubungan badan, atau pengantar hubungan
badan, seperti mencium atau mencumbu dengan syahwat.” (
Fiqh Sunnah, 2:275).
Inilah yang menjadi pendapat madzhab hambali. Dalam
Mausu’ah Fiqhiyah dinyatakan:
تَصِحُّ الرَّجْعَةُ عِنْدَهُمْ بِالْوَطْءِ مُطْلَقًا
سَوَاءٌ نَوَى الزَّوْجُ الرَّجْعَةَ أَوْ لَمْ يَنْوِهَا وَإِنْ لَمْ
يُشْهِدْ عَلَى ذَلِكَ
Rujuk sah menurut mereka (hambali) dengan hubungan badan secara
mutlak. Baik suami berniat untuk rujuk atau tidak niat, meskipun tidak
ada saksi dalam hal ini (
Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 22:111).
Alasan madzhab hambali:
Sesungguhnya masa iddah merupakan penantian untuk berpisah dengan
istri yang ditalak, dimana ketika masa iddah selesai, maka terhalang
kebolehan untuk rujuk. Karena itu, jika iddah belum selesai dan suami
menggauli istrinya di masa ini, maka istri berarti kembali kepadanya.
Status hukum ini sama dengan hukum ila’ (suami bersumpah untuk tidak
menggauli istri). Jika seorang suami melakukan ila’ terhadap istrinya,
kemudian dia menyetubuhi istrinya maka hilang status hukum ila’.
Demikian pula untuk talak yang masih ada kesempatan untuk rujuk, jika
suami berhubungan dengan istrinya di masa iddah maka istrinya telah
kembali kepadanya (
Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 22:112).
Dengan memahami pengantar di atas, kita bisa mengambil kesimpulan
hukum untuk kasus yang ditanyakan. Bahwa jika cerai yang dijatuhkan sang
suami baru cerai pertama, atau kedua, dan istri masih menjalani masa
iddah (selama 3 kali haid), maka hubungan badan yang terjadi bukan zina,
dan anak yang dikandung berhak dinasabkan kepada ayahnya. Dan dengan
kejadian ini, mereka dianggap rujuk dan kembali menjadi suami istri.
Sebaliknya, jika cerai yang terjadi adalah cerai ba’in, cerai ketiga
atau telah selesai masa iddah maka hubungan yang dilakukan adalah
hubungan di luar nikah, dan sang anak statusnya anak hasil zina, yang
hanya bisa dinasabkan ke ibunya, karena dia tidak memiliki ayah.
Allahu a’lam