Rabu, 10 Juli 2013

Jika Kau Masuk Islam Itulah Mahar Bagiku

Didalam sejarah perjuangan tegaknya Kalimatillah diatas bumi ini tidak bisa dipungkiri bahwa peranan wanita adalah tidak kecil. Mereka adalah ibarat sumbu yang menawarkan bara perjuangan kepada suami dan anak anak mereka. Banyak orang orang besar lahir dari rahim seorang wanita yang besar pula keimanan dan cintanya kepada Allah. Ada ibunda kita Khadijah r.a. Fatimah Az Zahra r.a yang melahirkan Imam Hasan r.a dan Imam Husein r.a. juga seorang pembantu wanita dari Ummul Mukminin Ummu Salamah yang kemudian melahirkan Ulama Besar dari Irak yaitu Imam Hasan Al Bashri rahimahullah.
Diantara para sahabiyah r.a terdapat nama Ummu Sulaim r.a yang memiliki kisah menawan dalam deretan kisah penuh teladan generasi umat manusia terbaik sepanjang masa. Dia seorang wanita yang sholehah, wara’, dan tidak kemilau oleh perhiasan dunia. Dia adalah ibunda sahabat Anas bin Malik r.a, seorang sahabat Nabi SAW yang termasuk golongan Ulama dan terkenal dalam pemahamannya tentang Islam.
Ummu Sulaim r.a adalah seorang Anshor yang awal awal masuk islam. Keistiqomahannya dan ketabahannya dalam menjalani kehidupan telah menjadi buah bibir di masyarakat Yatsrib. Ketidaksetujuan suaminya yang masih kafir tidak menggoyahkan Iman yang telah tertancap dalam di lubuk hatinya. Suaminyapun pergi meningalkan Ummu Sulaim r.a
Selang berapa lama seorang laki laki bernama Abu Thalhah yang waktu itu masih kafir memberanikan diri melamarnya dengan mahar yang tinggi. Tapi Ummu Sulaim tidak melirik sedikitpun terhadap apa yang ditawarkan di depan kedua matanya. Baginya Islam adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan apapun. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Ummu Sulaim r.a berkata, “Demi Allah, orang seperti anda tidak layak untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain dari itu.” Akhirnya menikahlah Ummu Sulaim r.a dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, yaitu Islam.
Ummu Sulaim r.a telah memberi kita sebuah pelajaran bahwa gemerlap dunia dengan segala kemewahannya adalah tidak lebh utama dari nilai Iman seorang hamba. Pernikahan adalah salah satu jalan bagi tersebarnya hidayah bagi mereka yang rindu akan petunjuk Allah. Kita juga mendapat pelajaran bahwa mahar sebagai pemberian yang diberikan kepada istri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan tidak selalu identik dengan uang, emas, atau segala sesuatu yang bersifat keduniaan.
Namun, mahar bisa berupa apapun yang bernilai dan diridhai istri selama bukan perkara yang dibenci oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Sebuah hadits diriwayatkan dari Anas r.a menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku belum pernah mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.” (HR An Nasa’i)
Semoga kita dapat meneladani sifat sifat mulia yang ada pada pada diri sahabat sahabat Nabi SAW. Mereka adalah contoh nyata manusia manusia paling agung dalam sejarah. Mereka bukan agung karena assesory yang mahal, bukan pula oleh berlimpahnya dinar dan dirham tapi oleh besarnya rasa cinta dan tingginya pengorbanan mereka untuk tegaknya Islam di atas bumi ini. Wallahu’alam. (Pz/kisah islami)

Kisah Mahar Paling Mulia

Penyusun: Ummu Ishaq
Sejarah telah berbicara tentang berbagai kisah yang bisa kita jadikan pelajaran dalam menapaki kehidupan. Sejarah pun mencatat perjalanan hidup para wanita muslimah yang teguh dan setia di atas keislamannya. Mereka adalah wanita yang kisahnya terukir di hati orang-orang beriman yang keterikatan hati mereka kepada Islam lebih kuat daripada keterikatan hatinya terhadap kenikmatan dunia. Salah satu diantara mereka adalah Rumaisha’ Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Najar Al-Anshariyah Al-Khazrajiyah. Beliau dikenal dengan nama Ummu Sulaim.
Siapakah Ummu Sulaim ?
Ummu Sulaim adalah ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal keilmuannya dalam masalah agama. Selain itu, Ummu Sulaim adalah salah seorang wanita muslimah yang dikabarkan masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau termasuk golongan pertama yang masuk Islam dari kalangan Anshar yang telah teruji keimanannya dan konsistensinya di dalam Islam. Kemarahan suaminya yang masih kafir tidak menjadikannya gentar dalam mempertahankan aqidahnya. Keteguhannya di atas kebenaran menghasilkan kepergian suaminya dari sisinya. Namun, kesendiriannya mempertahankan keimanan bersama seorang putranya justru berbuah kesabaran sehingga keduanya menjadi bahan pembicaraan orang yang takjub dan bangga dengan ketabahannya.
Dan, apakah kalian tahu wahai saudariku???
Kesabaran dan ketabahan Ummu Sulaim telah menyemikan perasaan cinta di hati Abu Thalhah yang saat itu masih kafir. Abu Thalhah memberanikan diri untuk melamar beliau dengan tawaran mahar yang tinggi. Namun, Ummu Sulaim menyatakan ketidaktertarikannya terhadap gemerlapnya pesona dunia yang ditawarkan kehadapannya. Di dalam sebuah riwayat yang sanadnya shahih dan memiliki banyak jalan, terdapat pernyataan beliau bahwa ketika itu beliau berkata, “Demi Allah, orang seperti anda tidak layak untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain dari itu.” (HR. An-Nasa’i VI/114, Al Ishabah VIII/243 dan Al-Hilyah II/59 dan 60). Akhirnya menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, yaitu Islam.
Kisah ini menjadi pelajaran bahwa mahar sebagai pemberian yang diberikan kepada istri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan tidak selalu identik dengan uang, emas, atau segala sesuatu yang bersifat keduniaan. Namun, mahar bisa berupa apapun yang bernilai dan diridhai istri selama bukan perkara yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesuatu yang perlu kalian tahu wahai saudariku, berdasarkan hadits dari Anas yang diriwayatkan oleh Tsabit bahwa Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Aku belum pernah mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.” (Sunan Nasa’i VI/114).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang kita untuk bermahal-mahal dalam mahar, diantaranya dalam sabda beliau adalah: “Di antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya.” (HR. Ahmad) dan “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.” (HR. Abu Dawud)
Demikianlah saudariku muslimah…
Semoga kisah ini menjadi sesuatu yang berarti dalam kehidupan kita dan menjadi jalan untuk meluruskan pandangan kita yang mungkin keliru dalam memaknai mahar. Selain itu, semoga kisah ini menjadi salah satu motivator kita untuk lebih konsisten dengan keislaman kita. Wallahu Waliyyuttaufiq.
Pegertian Mahar / Mas Kawin- Mahar merupakan salah satu syarat sah sebuah akad nikah yang pada zaman modern saat ini mulai mengalami pergeseran nilai. Pemberian mahar pada saat ini hanya dianggap sebagai salah satu bagian dalam ritualitas akad nikah sehingga tujuan syari (al-maqosid syariah) dari kewajiban mahar tereduksi oleh nilai-nilai lain selain Islam.

Sehingga wajar jika pemberian mahar atau bentuk mahar yang diberikan atau diminta saat ini aneh-aneh bentuk dan nilainya. Ada mahar yang berupa sejumlah uang dg nilai sesuai dengan tanggal nikah, ada juga mahar berupa kumpulan uang yang dibentuk menyerupai benda tertentu. Bahkan ada mahar dalam bentuk skripsi, ijazah kelulusan, dan lain sebagainya.

Mahar yang paling sederhana dan paling umum di masyarakat kita adalah mahar seperangkat sholat dan al-qur’an yang telah menjadi tradisi turun temurun, entah darimana asalanya yang jelas mahar tanpa dua benda tersebut dirasa kurang “afdhol”.

Dan yang sering terjadi salah kaprah juga terjadi dikalangan para aktivis da’wah, ada sebuah kesan bahwa jika maharnya berupa hafalan satu surat atau beberapa ayat Al-Qur’an seakan-akan itu sesuatu yang hebat, sesuatu yang sangat berharga, dan seakan-akan menjadi bentuk mahar yang paling baik, padahal asumsi dan kesan tersebut sama saja menjadikan nilai dan makna mahar dari sisi Al-Maqosid syariah menjadi hilang.

Mari kita tengok peristiwa-peristiwa pernikahan Rasulullah dan para sahabat, utamanya bentuk maharnya seperti apa. Rasulullah pada saat menikahi Khadijah maharnya adalah puluhan unta, yaitu kurang lebih 40 unta (bisa dicek jumlah tepatnya dalam sirah) dan sejumlah emas, yang jika diuangkan dalam masa kini mahar Rasulullah saat menikahi khadijah kurang lebih 1/2 milyar.

Ada juga sahabiah hindun yang akan menikah dg abu sofyan meminta mahar dg keislaman abu sofyan. Bahkan ada seorang sahabat yang menikah hanya memberi mahar bacaan Al-Qur’an karena saat itu dia tidak memiliki apa-apa. Memang bentuk dan rupa mahar tidak ada ketentuan yang jelas dalam syariat Islam, cuman Rasulullah memberikan rambu-rambu bahwa mahar itu harus sesuatu yang mempunyai nilai bagi mempelai putri walau itu berupa cincin dari besi, dan tidak memberatkan bagi pihak laki-laki.

Dan pada saat ada sahabat yang ingin menikah tapi tidak mampu memberikan mahar maka Rasulullah menyuruh sahabat tadi menikah dg mahar hafalan Al-Qur’an yang dia miliki. Bahkan beberapa ulama fiqih saat ini menyatakan mahar yang diberikan itu harus sesuatu yang produktif bukan hanya bernilai saja.

Tujuan pemberian mahar dalam prespektif al-maqosid syariah adalah untuk menjaga kemulian wanita. Mungkin tujuan ini sekilas tidak nyambung dengan pemberian mahar, bahkan para orientalis menyatakan mahar itu melecehkan kaum wanita karena wanita diibaratkan dengan barang dagangan.

Para orientalis menganggap pemberian mahar ibarat proses barter dalam perdagangan. Itulah pikiran picik dari para orientalis. Memang manfaat mahar untuk menjaga kemulian wanita pada saat menikah tidak terasa, nuansa dan rasa yang ada hanyalah nuansa untuk membandingkan nilai mahar dengan nilai wanita.

Sehingga wajar kemudian masyarakat saat ini menjadikan mahar hanya sebatas ritualitas dalam akad nikah yaitu hanya sekedar menggugurkan suatu kewajiban agar dapat terlaksananya suatu hukum, karena mereka sudah “teracuni” oleh pemikiran para orientalis tersebut.

Mahar yang diterima oleh seorang istri akan menjadi harta pribadi milik sang istri, sehingga istri mempunyai hak penuh untuk mengelolanya tampa harus tunduk atau dibawah perintah suami. Suami tidak boleh menggunakan harta yang berasal dari mahar tersebut tampa se-ijin istri. Mulai dari pemahaman atas kedudukan mahar dalam masalah status harta maka akan menjadi jalan masuk kita untuk memahami bahwa mahar adalah untuk menjaga kemulian wanita.

Jika mahar yang menjadi harta milik wanita maka bisa dibayangkan jika maharnya adalah harta yang produktif seperti sapi, kerbau, tanah pertanian, mobil, uang, emas dll maka harta tersebut akan dapat digunakan oleh istri untuk melakukan investasi dan usaha yang akan menjamin kebutuhannya sehingga dia tidak perlu lagi bekerja di luar, dan tidak perlu lagi untuk “mengemis” uang nafkah ke suami.

Sehingga kemandiriannya sebagai wanita akan terwujud, dan kemualiannya akan terjaga karena akan banyak terhindar dari kasus KDRT yang sering terjadi akibat lemahnya kedudukan wanita dalam rumah tangga. Dan yang lebih terasa lagi manfaatnya adalah jika suaminya meninggal dan meninggalkan beberapa orang anak, maka selain harta warisan sang suami, harta dari mahar pun akan mampu menjaga kemualian seorang wanita pada saat dia berstatus janda.

Dengan harta mahar yang besar dan bernilai serta produktif maka seorang janda tidak akan kebingungan untuk memikirkan nafkah dan biaya hidup untuk diri dan anak-anaknya, sehingga dia tidak perlu “mengemis” ke orang lain. Coba bayangkan jika mahar kita hanya seperangkat alat sholat dan Al-Qur’an, atau hanya hafalan hadist dan ayat Al-Qur’an, atau sejumlah uang dan benda-benda yang tidak jelas nilainya, maka mahar itu tidak bisa menjadi harta bagi istri kita yang bisa menjaga kemulian dia sebagai wanita pada saat menjadi istri atau pun saat dia menjadi janda. Itulah makna dan maksud kenapa mahar itu menjadi salah satu syarat syahnya akad nikah.

Semakin besar nilai manfaat dan nominal dari mahar yang kita berikan kepada istri kita menunjukkan semakin tinggi rasa tanggung jawab kita sebagai suami untuk menjaga kemulian seorang wanita dan istri sehingga kita memang pantas untuk bisa menjadi lelaki yang qowam.

MAHAR

Mahar atau Mas kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat pernikahan. Istilah yang sama pula digunakan sebaliknya bila pemberi mahar adalah pihak keluarga atau mempelaerempuan. Secara antropologi, mahar seringkali dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok.
Di indonesia, istilah mahar tidak hanya digunakan secara terbatas pada pernikahan. Penganut paham mistisisme kadang-kadang menggunakan istilah yang sama dalam proses pemindahan hak kepemilikan atas benda-benda yang dipercaya memiliki kekuatan tertentu seperti keris, akik, dan benda-benda lainnya. Mahar juga kadang-kadang diartikan sebagai pengganti kata biaya atas kompensasi terhadap proses pengajaran ilmu ataupun kesaktian dari seorang guru kepada orang lain.

Sejarah

Meskipun tidak ada sumber resmi yang menyebutkan secara jelas, budaya mahar dipercaya sudah ada sejak zaman purbakala seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Penemuan tertua yang mengatur tentang tata cara pemberian mahar tercatat pada piagam Hammurabi yang menyebutkan:
  • Seorang laki-laki yang telah memberikan mahar kepada seorang mempelai wanita namun kemudian mempersunting wanita lain tidak berhak mendapat pengembalian atas mahar yang telah diberikannya, namun apabila ayah dari mempelai wanita menolak menikahkan maka laki-laki tersebut berhak atas pengembalian mahar yang telah diberikannya.
  • Jika seorang istri meninggal tanpa sempat melahirkan seorang anak laki-laki, ayah dari istri tersebut harus memberikan mahar sebagai gantirugi kepada pihak laki-laki, setelah dikurangi nilai dari mahar yang diberikan pihak laki-laki.

Mahar dalam ajaran agama

Pemberian mahar dalam pernikahan tidak hanya sebatas budaya yang berlaku dalam peradaban manusia, tata cara dan pemberian mahar bahkan diatur dalam kitab suci beberapa agama:

Islam

Mahar dalam agama islam dinilai dengan menggunakan nilai uang sebagai acuan, hal ini disebabkan karena mahar merupakan harta dan bukan semata-mata sebagai sebuah simbol. Wanita dapat meminta mahar dalam bentuk harta dengan nilai nominal tertentu seperti uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, atau benda berharga lainnya. Mahar juga dapat berupa mushaf Al-Qur'an serta seperangkat alat salat. Agama islam mengizinkan mahar diberikan oleh pihak laki-laki dalam bentuk apapun (cincin dari besi, sebutir kurma, ataupun jasa), namun demikian mempelai wanita sebagai pihak penerima memiliki hak penuh untuk menerima ataupun menolak mahar tersebut.

Kristen

Praktek pemberian mahar dalam agama kristen ditemukan dalam alkitab, pada perjanjian lama, Exodus 22:16-17 yang menyebutkan:
  • Jika seorang laki-laki mengambil mahkota (keperawanan) seorang wanita yang tidak dijanjikan untuk dinikahinya, kemudian tidur bersamanya. Maka ia harus membayar sejumlah mahar, dan wanita tersebut harus menjadi istrinya. Jika ayah dari perempuan menolak untuk menikahkan keduanya, maka laki-laki tersebut tetap harus membayarkan sejumlah mahar tersebut atas keperawanan yang telah ia ambil.



Sabtu, 06 Juli 2013

Mahar Uang Frame

Membuat Mahar Uang Frame

mahar1

 Sebuah pernikahan memang belum lengkap rasanya bila tidak dihiasi dengan pernak-pernik pernikahan, seperti souvenir, mahar dan antaran, yang cantik serta unik. Agar terkesan berbeda, Anda pun bisa membuat pernak-pernik itu sendiri sesuai dengan kreativitas yang Anda miliki.

 Berikut ini adalah salah satu kreasi mahar yang bisa Anda terapkan, yaitu Mahar Uang Frame.
Alat dan Bahan
•    Pigura atau frame
•    Pasir aquarium
•    Potongan daun-daun
•    5 lembar uang kertas Rp20.000 untuk kelopak bunga
•    3 lembar uang kertas Rp50.000 untuk batang 2 lembar dan 1 untuk lingkaran tengah bunga
•    2 lembar uang kertas Rp1.000 untuk daun 2 lembar
•    Lem
•    Selotip
•    Double tape
Step by step
mahar2
Berikan lem pada bagian bawah pigura, taburkan pasir aquarium. Letakkan potongan daun yang sudah diberi lem.
mahar3
Lipat memanjang uanga Rp20.000, buat menjadi gulungan sebanyak 5 kelopak, rekatkan dengan double tape.
mahar4
Setelah menjadi bentuk bunga, buat gulungan dari uang Rp50.000 untuk lingkaran di tengah kelopak. Rekatkan dengan double tape.
mahar5
Beri lem pada bagian bawah uang, tempelkan pada pigura.
mahar6
Buat tangkai dari uang Rp50.000, lengkungkan masing-masing lembaran uang ke kanan dan kiri. Buat daun dari uang Rp1.000, gulung kecil dan rekatkan dengan selotip di bawah batang bunga.
mahar7
Berikan lem di bawah batang dan daun. Tempelkan tangkai di pigura.

cara membuat susunan uang mahar mas kawin

CARA MEMBUAT SUSUNAN UANG MAHAR MAS KAWIN DAN BESARNYA UANG SESUAI NILAI YANG DIKEHENDAKI

Untuk lebih menambah nilai lebih dari uang mahar, uang mahar bisa menggunakan beberapa uang kuno yang pernah beredar di Indonesia. Kenapa ada nilai lebihnya, karena untuk mendapatkan uang kuno itu tidak semudah uang yang beredar saat ini. Dibutuhkan usaha untuk mendapatkan uang kuno, baik tenaga maupun materi, karena harga uang kuno jauh lebih mahal dari pada uang yang berlakuk saat ini.
Uang kuno dapat disusun dalam sebuah pigora, bentuk pigora disesuaikan dengan selera masing-masing pasangan. Begitu juga dengan susunan uang kuno yang akan disusun. Bisa memanjang secara vertical (uang bisa disusun dari atas ke bawah), atau bisa juga memanjang kesamping (uang disusun dari kiri ke kanan). Bisa juga persegi / bujur sangkar, sehingga uang kuno dapat disusun sesuai dengan bentuk dan selera yang dikehendaki. 
Banyak yang masih bingung cara menentukan besarnya uang mahar. Ada beberapa contoh, misalnya disesuaikan dengan tanggal pernikahan. Bisa juga nilainya disesuaikan dengan nilai tertentu yang dianggap penting oleh pasangan. Contoh menurut tanggal pernikahan, misalnya tanggal 11 Juli 2010, maka besarnya uang bisa menggunakan Rp 110.710,-.
Contoh lagi misalnya tanggal 5 Juni 2010, besarnya uang bisa Rp 50.610,-  atau Rp 5.610,-.
Ada banyak cara untuk mengkombinasi uang-uang kuno. Misalnya Rp 110.710,-. Bisa menggunakan kombinasi :
110.710 = 100.000 + 10.000 + 500 + 100 +100 + 10.
110.710 = 50.000 + 50.000 + 5.000 + 5.000 + 500 + 100 + 100 + 5 + 5
110.710 =  50.000 + 50.000 + 5.000 + 1.000 + 1.000 + 1.000 + 1.000 + 1.000 + 500 + 100 + 50 + 25 + 25 + 5 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1
Kombinasi tergantung kebutuhan dan besarnya dana untuk biaya pembelian uang kuno. Makin banyak jumlah uang kuno yang digunakan, maka otomatis besarnya dana yang diperlukan juga semakin besar. Kondisi uang kuno sebaiknya adalah dengan kondisi yang sangat bagus, karena jika kondisi uang kurang bagus, akan mengurangi keindahan dari uang mahar yang dipigora.
Dibawah ini ada beberapa contoh uang mahar yang dipigora. Gambar ini saya ambil dari beberapa site di internet.
 
Uang Kuno Surabaya sbg narasumber di koran Jawapos (Jumat, 7 Desember 2012)
 

Rabu, 03 Juli 2013

Pernikahan

Kapan Wanita Boleh Gugat Cerai?

Istri Gugat Cerai Suami

Pertanyaan:
Assalaamu’alaikum.
Teman saya ingin melakukan khulu’ (minta cerai) dengan alasan:
1. Suaminya mengatakan bahwa dulu niat nikahnya hanya karena dendam kepada keluarga istri, bahkan dicurigai si lelaki menggunakan sihir pelet untuk menikahinya.
2. Diajak suaminya nonton video porno.
3. Pernah ketika piknik, teman saya ini pake jilbab kemudian suaminya nyuruh pake kaos dan celana pendek, tapi alhamdulillaah temen saya gak nurut.
4. Suaminya menghina keluarga istri.
5. Ketika diajak sholat, sering bilang males.
6. Temen saya dulu dinikahi dibawah ancaman si lelaki.
Apakah khulu’ dengan alasan di atas dibenarkan? Kalau suami tidak mengabulkan permintaan khulu’ istri bagaimana?
Mohon dijelaskan rincian prosedurnya seperti apa? Baik berkaitan dengan agama dan lembaga pengadilan di Indonesia.
Terima kasih

 Jawaban:
Wa’alaikumussalam.
Syariat Islam memberikan jalan keluar bagi pasangan suami istri ketika mereka tidak lagi merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarganya. Baik dalam bentuk cerai yang itu berada di tangan suami atau gugat cerai (khulu’) sebagai jalan keluar bagi istri yang tidak memungkinkan lagi untuk tinggal bersama suami. Dan semuanya harus dilakukan dengan aturan yang telah ditetapkan syariat.
Karena itulah, sang suami tidak boleh sembarangan menjatuhkan perceraian, karena dengan demikian berarti dia telah melakukan tindak kedzaliman. Lebih dari itu, para lelaki pun tidak dianjurkan untuk langsung beranjak ke jenjang perceraian ketika terjadi masalah, kecuali setelah berusaha mempertahankan keutuhan keluarganya melalu jalur islah (usaha damai) dari perwakilan dari dua  belah pihak atau usaha lainnya.
Allah tegaskan dalam firman-Nya,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا ( ) وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (membangkang), Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar (34). Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. (QS. An-Nisa: 34 – 35)

Hukum Asal Wanita Gugat Cerai Adalah Haram

Terdapat beberapa hadis yang menjelaskan hal ini, diantaranya,
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga” (HR Abu Dawud no 2226, At-Turmudzi 1187 dan dihahihkan al-Albani).
Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang diizinkan oleh syariat.
Dalam Aunul Ma’bud, Syarh sunan Abu Daud dijelaskan makna ‘tanpa kondisi mendesak’,
أي لغير شدة تلجئها إلى سؤال المفارقة
“Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…” (Aunul Ma’bud, 6:220)
Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُنْتَزِعَاتُ وَالْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
Para wanita yang berusaha melepaskan dirinya dari suaminya, yang suka khulu’ (gugat cerai) dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq.” (HR. Nasa’i 3461 dan dishahihkan al-Albani)
Al-Munawi menjelaskan hadis di atas,
أي اللاتي يبذلن العوض على فراق الزوج بلا عذر شرعي
“Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk berpisah dari suaminya tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.’
Beliau juga menjelaskan makna munafiq dalam hadis ini,
نفاقاً عملياً والمراد الزجر والتهويل فيكره للمرأة طلب الطلاق بلا عذر شرعي
‘Munafiq amali (munafiq kecil). Maksudnya adalah sebagai larangan keras dan ancaman. Karena itu, sangat dibenci bagi wanita meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.’ (At-Taisiir bi Syarh al-Jaami’ as-Shogiir, 1:607).
Hal-Hal yang Membolehkan Gugat Cerai
Hadis-hadis di atas tidaklah memaksa wanita untuk tetap bertahan dengan suaminya sekalipun dalam keadaan tertindas. Karena yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melakukan gugat cerai tanpa alasan yang dibenarkan. Artinya, jika itu dilakukan karena alasan yang benar, syariat tidak melarangnya, bahkan dalam kondisi tertentu, seorang wanita wajib berpisah dari suaminya.
Apa saja yang membolehkan para istri untuk melakukan gugat cerai? Imam Ibnu Qudamah telah menyebutkan kaidah dalam hal ini. Beliau mengatakan,
وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي  حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها  منه
“Kesimpulan masalah ini, bahwa seorang wanita, jika membenci suaminya karena akhlaknya atau karena fisiknya atau karena agamanya, atau karena usianya yang sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ (gugat cerai) kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk melepaskan dirinya.” (al-Mughni, 7:323).
Mengambil faidah dari keterangan Ustadz Firanda, M.A., berikut beberapa kasus yang membolehkan sang istri melakukan gugat cerai,
1. Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi seperti wanita yang tergantung.
2. Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.
3. Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering meninggalkan sholat, suka mendengar musik, dll
4. Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.
5. Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik, misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada istri yang lain.
6. Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu’, karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami.
7. Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau buruknya suami.
(Silahkan lihat Roudhotut Toolibiin 7:374, dan juga fatwa Syaikh Ibn Jibrin rahimahullah di http://islamqa.info/ar/ref/1859)
Jika data yang Anda sampaikan benar, insya Allah wanita itu berhak melakukan gugat cerai. Terutama karena sang suami tidak mau shalat. Dia bisa melaporkan ke PA (Pengadilan Agama) untuk menyampaikan semua aduhannya. Jika pihak PA menyetujui, maka sang istri bisa lepas dari ikatan pernikahan dengan suaminya yang pertama.
Allahu a’lam

 

Ayah Tidak Pernah Shalat, Bolehkah Jadi Wali Nikah?

Jarang Sholat, Jadi Wali Nikah ?

Pertanyaan:
Ada seorang muslimah yang ayahnya hampir tidak pernah shalat. Kalaupun shalat, hanya jumatan dan itu pun kadang-kadang. Apakah dia boleh jadi wali?

Trim’s
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, nikah tanpa wali, nikahnya batal
Para ulama selain beberapa tokoh dalam madzhab hanafi, telah sepakat bahwa nikah tanpa wali statusnya batal. Sangat banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Diantaranya,
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Tidak sah nikah kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud 2085, Turmudzi 1101, Ibnu Majah 1881 dan dishahihkan al-Albani)
Dalam hadis lain dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
Wanita manapun yang menikah tanpa restu dari walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal.” (HR. Ahmad 24417, Abu Daud 2083, Turmudzi 1102 dan dishahihkan al-Albani).
Kedua, diantara syarat bisa menjadi wali nikah, dia harus muslim. Karena orang kafir tidak boleh menjadi wali nikah bagi muslimah.
Al-Buhuti dalam Kasyaful Qana’ menjelaskan beberapa persyaratan wali nikah, diantaranya,
الثّالِث اتفاق دين ، الولي والمولى عليها ، فلا يزوج كافر مسلمة ولا عكسه
Syarat ketiga, kesamaan agama, antara wali dan yang diwalikan. Karena itu, tidak boleh orang kafir menikahkan wanita muslimah, atau sebaliknya. (Kasyaful Qana’, 5:53)
Ketiga, Bagaimana jika meninggalkan shalat?
Berikut keterangan Dr. Khalid al-Musyaiqih ketika beliau ditanya tentang status seorang ayah yang tidak pernah shalat. Bolehkah jadi wali nikah?
Jawaban  beliau,
إذا كان هذا الأب لا يصلي مطلقاً ويمضي عليه أكثر من أسبوع وهو لا يصلي فالذي يظهر أنه خارج من دائرة الإسلام لقوله صلى الله عليه وسلم : “إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة ” رواه مسلم وعن بريده بن الحصيب رضي الله عنه ، قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم ، يقول : “العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة ، فمن تركها فقد كفر”. رواه أحمد وأبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه.
Apabila si ayah tidak pernah shalat sama sekali, telah berlalu lebih dari sepekan dan dia tidak shalat, pendapat yang kuat, orang ini telah keluar dari islam. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Pembatas antara seseorang dengan kesyirikan atau kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim). Demikian pula hadis dari Buraidah bin Hashib radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat. Siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Ibn Majah).
وحينئذ تسقط ولايته ولا يصح أن يتولى العقد على هذه المرأة لأن من شروط من الولي أن يكون مسلما وقد قال الفقهاء رحمهم الله تعالى: أنه يشترط في الولي الإسلام إذا زوَّج مسلمة ، وقالوا : ” لا ولاية لكافر على مسلمة “.وقال ابن عباس رضي الله عنهما : ” لا نكاح إلا بولي مرشد ” ، وأعظم الرشد وأعلاه دين الإسلام .
Pada keadaan demikian, gugur hak kewalian sang ayah, dan tidak sah untuk menjadi wali akad nikah bagi wanita ini. Karena diantara syarat wali nikah, dia harus seorang muslim. Para ulama mengatakan, bahwa disyaratkan untuk menjadi wali, harus orang islam, apabila dia hendak menikahkan seorang muslimah. Para ulama mengatakan,
‘Tidak ada hak perwalian untuk orang kafir, terhadap wanita muslimah.’ Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, mengatakan,
لا نكاح إلا بولي مرشد
“Tidak ada nikah, kecuali dengan wali yang layak.”
Dan kelayakan terbesar dan tertinggi adalah agama Islam.
Sumber: http://www.almoshaiqeh.com/index.php?option=com_ftawa2&task=view&id=4171
Keempat, ketika seorang bapak telah gugur haknya untuk menjadi wali, hak perwalian akan jatuh ke setiap laki-laki dari jalur bapak, seperti kakek, anak (jika janda), saudara laki-laki, dst, sebagaimana yang telah dibahas di artikel:  Urutan Wali Nikah
Allahu a’lam

 

Hukum Hubungan Intim Setelah Bercerai

Hubungan Intim Setelah Bercerai

Pertanyaan:
Ustadz, jika ada suami-istri, keduanya dari keluarga baik-baik. Setelah menikah beberapa tahun, istrinya minta cerai, hingga diurus di pengadilan, akhirnya suaminya menceraikannya. Kurang lebih 2 bulan, mereka bertemu kembali, dan pergi bersama jauh dari keluarga.

Sampai akhirnya terjadi hubungan intim dan hamil. Si istri sangat bingung dengan status anak ini. Apakh itu hubungan yang sah atau zina? Hingga keluarganya memisahkannya, karena belum ada kejelasan. Semua pada bingung. Mohon pencerahannya jika ada kejadian seperti ini, apa yang harus dilakukan?

Trim’s
Dari: Ana
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Ibnul Qoyim dalam bukunya Miftah Dar As-Sa’adah, 1:129 menyebutkan lebih dari 30 perbandingan keutamaan antara ilmu dan harta. Salah satunya, beliau menyatakan,
العلم يحرس صاحبه وصاحب المال يحرس ماله
Ilmu akan melindungi pemiliknya, sementara pemilik harta, dia sendiri yang melindungi hartanya.
Dan demikianlah realitanya, seorang yang berilmu, dalam setiap gerakan hidupnya akan dipandu dengan aturan yang dia pahami. Dia bisa bergerak sesuai dengan apa yang Allah ridhai. Dengan demikian, dia bisa menjalankan segala aktivitasnya dengan tenang, tanpa diiringi kegalauan.
Berbeda dengan orang yang tidak berilmu, tidak memiliki banyak pengetahuan tentang aturan Allah, hidupnya akan diliputi kebimbangan. Cemas, jangan-jangan saya melanggar, jangan-jangan ibadah saya batal, jangan-jangan tidak sah. Belum lagi ketika ada masalah, seperti ini apa yang harus saya lakukan? Kemana saya harus mencari jawaban? dst.  Kita tidak bisa membayangkan, betapa resahnya dan bimbangnya keluarga di atas. Mereka akan dibayangi kebingungan, antara zina dan bukan zina.
Karena itulah, Allah tegaskan bahwa orang yang berilmu akan mendapatkan ketenangan,
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan dzikrullah hati ini menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28)
Tentang makna dzikrullah ada 2 keterangan ahli tafsir,
a. Makna yang umum kita dengar, dzikrullah artinya mengingat Allah dengan memujinya dan mengucapkan lafal-lafal dzikir lainnya.
b. Dzikrullah: peringatan dari Allah, Alquran dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya, semua aturan Allah. Karena orang yang memahami, akan bisa bersikap dengan tenang, tidak ragu, karena dipandu aturan Allah.
(simak Zadul Masir, 2:494).
Setidaknya, keterangan ini bisa memberi motivasi kita untuk menghiasi seluruh hidup kita dengan ilmu agama. Berusaha mendekati dan memahami aturan syariat. Setidaknya dalam rangka menghilangkan kebodohan dalam diri kita. Karena semua manusia dilahirkan dari rahim ibunya, tidak tahu apapun sama sekali.
Insya Allah, kita akan bisa merasakan betapa tenangnya hidup dengan aturan syariat. Beribadah tenang, shalat tenang, bahkan ketika lupa di tengah-tengah shalat pun Anda tenang, karena Anda paham teori sujud sahwi. Beda dengan yang tidak tahu teorinya, ketika lupa dalam shalat, dia akan kebingungan, apa yang harus dia lakukan. Kebanyakan, solusi yang dilakukan adalah membatalkan shalatnya.
Selanjutnya, kita fokuskan pada pembahasan untuk kasus di atas.
Ada beberapa pengantar yang bisa dicatat terkait kasus di atas:
Pertama, talak, dilihat dari kemungkinan rujuk dan tidaknya, ada 2:
a. Talak raj’i: talak yang masih memungkinkan untuk rujuk, selama istri masih menjalani masa iddah. Talak yang masih memungkinkan untuk rujuk hanya untuk talak pertama dan kedua. Allah berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
Talak itu dua kali…” (QS. Al-Baqarah: 229)
Kata para ahli tafsir, talak itu dua kali, maksudnya adalah talak yang masih memungkinkan untuk rujuk. (Tafsir Jalalain, hlm. 235).
b. Talak ba’in: talak yang tidak ada lagi kesempatan untuk rujuk. Talak ba’in ada 2:
· Ba’in sughra: ini terjadi ketika seorang suami mentalak istrinya, pertama atau kedua, dan sampai masa iddah selesai, dia tidak merujuk istrinya.
· Ba’in kubro: talak untuk yang ketiga kalinya.
Kedua, selama menjalani masa iddah untuk talak pertama dan kedua, status mereka masih suami istri. Karena itu, suami boleh melihat aurat istri dan sebaliknya, demikian pula, suami tetap wajib memberi nafkah istrinya yang sedang menjalani masa iddah.
Allah berfirman,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
Suaminya itu lebih berhak untuk rujuk dengan istrinya selama masa iddah itu, jika mereka menginginkan kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Syaikh Mustofa al-Adawi mengatakan, “Allah Ta’ala menyebut suami yang menceraikan istrinya yang sedang menjalani masa iddah dengan “suaminya” (suami bagi istrinya).” (Jami’ Ahkam an-Nisa, 511)
Ketiga, selama menjalani masa iddah talak pertama dan kedua, bolehkah mereka melakukan hubungan badan?
Sebagian ulama menegaskan, jika seorang suami menceraikan istrinya, talak satu atau talak dua, kemudian dia melakukan hubungan badan, maka itu tidak dianggap zina, artinya statusnya hubungan yang halal, dan hubungan badan yang dia lakukan sekaligus mewakili rujuknya.
Sayyid Sabiq dalam karyanya, Fiqh Sunnah mengatakan:
وتصح المراجعة بالقول. مثل أن يقول: راجعتك، وبالفعل، مثل الجماع، ودواعيه، مثل القبلة، والمباشرة بشهوة.
“Rujuk bisa dilakukan dengan ucapan, seperti, seorang suami mengatakan kepada istrinya: ‘Saya rujuk kepadamu.’ Bisa juga dengan perbuatan, misalnya dengan hubungan badan, atau pengantar hubungan badan, seperti mencium atau mencumbu dengan syahwat.” (Fiqh Sunnah, 2:275).
Inilah yang menjadi pendapat madzhab hambali. Dalam Mausu’ah Fiqhiyah dinyatakan:
تَصِحُّ الرَّجْعَةُ عِنْدَهُمْ بِالْوَطْءِ مُطْلَقًا سَوَاءٌ نَوَى الزَّوْجُ الرَّجْعَةَ أَوْ لَمْ يَنْوِهَا وَإِنْ لَمْ يُشْهِدْ عَلَى ذَلِكَ
Rujuk sah menurut mereka (hambali) dengan hubungan badan secara mutlak. Baik suami berniat untuk rujuk atau tidak niat, meskipun tidak ada saksi dalam hal ini (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 22:111).
Alasan madzhab hambali:
Sesungguhnya masa iddah merupakan penantian untuk berpisah dengan istri yang ditalak, dimana ketika masa iddah selesai, maka terhalang kebolehan untuk rujuk. Karena itu, jika iddah belum selesai dan suami menggauli istrinya di masa ini, maka istri berarti kembali kepadanya. Status hukum ini sama dengan hukum ila’ (suami bersumpah untuk tidak menggauli istri). Jika seorang suami melakukan ila’ terhadap istrinya, kemudian dia menyetubuhi istrinya maka hilang status hukum ila’. Demikian pula untuk talak yang masih ada kesempatan untuk rujuk, jika suami berhubungan dengan istrinya di masa iddah maka istrinya telah kembali kepadanya (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 22:112).
Dengan memahami pengantar di atas, kita bisa mengambil kesimpulan hukum untuk kasus yang ditanyakan. Bahwa jika cerai yang dijatuhkan sang suami baru cerai pertama, atau kedua, dan istri masih menjalani masa iddah (selama 3 kali haid), maka hubungan badan yang terjadi bukan zina, dan anak yang dikandung berhak dinasabkan kepada ayahnya. Dan dengan kejadian ini, mereka dianggap rujuk dan kembali menjadi suami istri.
Sebaliknya, jika cerai yang terjadi adalah cerai ba’in, cerai ketiga atau telah selesai masa iddah maka hubungan yang dilakukan adalah hubungan di luar nikah, dan sang anak statusnya anak hasil zina, yang hanya bisa dinasabkan ke ibunya, karena dia tidak memiliki ayah.
Allahu a’lam